Mengenal Nikah Siri Dulu dan Sekarang serta Dampak Hukumnya

Dewa Eka Prayoga dan Wiwin Supiyah. Sumber : Instagram @dewaekaprayoga

Jagat dunia maya sedang santer memberitakan perceraian motivator Dewa Eka Prayoga dengan istrinya, Wiwin Supiyah. Kabar retaknya biduk rumah tangga sang motivator disampaikan sendiri oleh Wiwin melalui akun Facebooknya.

"Bismillahirrohmaanirrohiim...Hari ini, saya dengan kang Dewa Eka Prayoga telah resmi bercerai dengan cara yang baik," tulis Wiwin Supiyah dikutip media ini  dari detik.com, Kamis (22/6/2023).

Perceraian antara Dewa dan Wiwin diduga dipicu oleh kehadiran orang ketiga. Dewa seperti dikabarkan Viva.co.id telah menikah secara siri dengan istri keduanya. Sebagai istri, Wiwin menolak untuk dimadu sehingga keduanya memilih untuk berpisah.

Ngomong-ngomong soal nikah siri, apa sih nikah siri itu, dan bagaimana praktiknya dari waktu - ke waktu ?

Menurut Addin dan Djumadi dalam jurnal Aspek Hukum Perkawinan Siri dan Akibat Hukumnya dijelaskan, siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia. Siri berasal dari bahasa Arab, “sirrun” yang berarti rahasia, sunyi, diam, atau tersembunyi. Lawan katanya adalah “alaniyyah” terang-terangan. Kata siri kemudian digabung dengan kata nikah yang bermakna nikah secara diam-diam atau tersembunyi.

Sejak masa Imam Malik bin Anas, nikah siri memang telah dikenal. Hanya saja dalam pelaksanaannya, nikah siri masa dahulu berbeda dengan sekarang. Pada masa dulu, nikah siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan dari masyarakat atau khalayak ramai. Para saksi yang hadir diminta untuk tidak memberitahukan terjadinya acara pernikahan tersebut.

Prosesi pernikahannya tetap memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana ketentuan hukum Islam, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi. Walaupun pernikahan ini dirahasiakan dari khalayak ramai, selama syarat dan rukun nikahnya cukup maka nikah siri dianggap sah secara hukum Islam.

Lalu bagaimana dengan nikah siri saat ini? Secara syarat dan rukun perkawinan sama saja dengan yang dilakukan pada masa dahulu, hanya saja nikah siri yang dimaknai saat ini adalah pernikahan yang tidak dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam.

Sehingga, perkawinan ini tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain dikenal dengan istilah siri, nikah ini juga dikenal dengan sebutan nikah di bawah tangan.

Hal ini merujuk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa setiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. 

Dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan, disebutkan: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Kemudian, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Adapun bagi seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari seorang, maka sesuai ketentuan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) harus menyertakan surat kesediaan/kerelaan dari pihak istri pertama. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Akan tetapi, perkawinan sebagai peristiwa hukum menuntut formalitas yang oleh undang-undang mengharuskan dilakukan pencatatan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukum.

Awalnya hukum Islam tidak secara langsung mengatur tentang perlunya pencatatan perkawinan. Perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Hal itu dapat dilihat sejak masa Rasulullah SAW maupun para sahabat, karena saat itu belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. 

Akan tetapi, Rasulullah menganjurkan para sahabat agar memberitahukan khalayak ramai atau masyarakat luas setiap adanya pernikahan yang akan dilakukan, antara lain melalui walimatul-‘ursy. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Aisyah, Rasulullah bersabda;  “Umumkanlah acara pernikahan dan pukullah rebana“.

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abdurrahman bin Auf Rasulullah bersabda; “adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing“. Tujuannya adalah, apabila suatu ketika terjadi perselisihan atau pengingkaran terhadap status perkawinan, maka pembuktiannya dapat dilakukan dengan kesaksian.

Namun seiring perkembangan zaman dan pertimbangan kemaslahatan, mencatat perkawinan sudah menjadi keharusan yang dipraktikkan oleh berbagai negara muslim di dunia termasuk Indonesia. 

Hal ini untuk menjaga ketertiban perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. 

Dengan adanya pencatatan perkawinan maka suami istri memiliki bukti otentik berupa akta nikah, sehingga apabila terjadi perselisihan antara keduanya, salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan haknya masing-masing.

Hadirnya regulasi yang mengharuskan pencatatan setiap adanya perkawinan merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Perubahan hukum ini tidak menyalahi hukum Islam. Ibnu Qayyim pernah berkata; “perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat”.

Selain itu, substansi dari pencatatannya ini selain untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai aspek preventif agar tidak terjadinya penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun ketentuan perundang-undangan. Diantaranya menghindari pemalsuan identitas antara laki-laki dan perempuan, seperti laki-laki yang mengaku perjaka padahal ia sudah mempunyai istri dan anak. Hal ini diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975.

Dalam Islam, keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan diqiyaskan pada pencatatan dalam persoalan utang - piutang yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 282: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.

Al Quran mengajarkan bahwa akad nikah bukanlah perjanjian biasa. Dalam Surat Annisa ayat 21 Allah SWT berfirman; “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Dari sini dapat disimpulkan, jika akad hutang piutang saja harus dicatatkan, maka sudah semestinya akad nikah yang mengikat secara sakral sepasang anak cucu adam tentu lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka mencatatkan perkawinan merupakan suatu keharusan untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatat akan berpotensi memunculkan kemudharatan dan merugikan pihak istri beserta anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.

Oleh karena itu, kewajiban mencatatkan suatu perkawinan adalah untuk mencegah kemudharatan dengan mengutamakan kemaslahatan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Seperti kaidah fiqih, bahwa menolak kemudharatan lebih utama daripada memperbaikinya di kemudian. []

Comments